Selama ini penanganan perkara tindak pidana korupsi lebih banyak yang terfokus pada upaya pengembalian/penyelamatan keuangan negara yang telah disalahgunakan dan dinikmati pelaku, tetapi belum ada satu pun yang bisa dikembalikan 100 persen.
Bahkan negara mengalami kerugian ganda. Sebaliknya, pandangan lain menganggap, perkara dari sektor pemasukan bagi negara pasti akan mendatangkan keuntungan.
Pada awal November 2023, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) menyampaikan kabar yang menggembirakan tentang progres penanganan transaksi keuangan mencurigakan Rp 349 triliun.
Dalam penjelasannya, Menko Polhukam menyampaikan bahwa terdapat 3,5 ton emas yang diimpor tanpa dilengkapi dokumen sebagaimana mestinya. Angka 3,5 ton emas itu jika dihitung dengan harga emas saat ini akan diperoleh nilai 3,5 x 1.000.000 (gram) x Rp 1.100.000 = Rp 3.850.000.000.000.
Angka ini jika dibandingkan dengan transaksi emas yang mencurigakan sebesar Rp 189 triliun masih belum sebanding. Meskipun demikian, progres ini layak diapresiasi mengingat selama ini tidak ada berita tentang penanganan transaksi tersebut.
Padahal, sejak tahun 2016, bahkan ada yang sejak tahun 2009, laporannya sudah dikirimkan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) kepada Kementerian Keuangan cq penyidik Ditjen Bea Cukai.
Mereka akan lebih memilih menjalani hukuman pidana badan berupa penjara daripada mengganti atau mengembalikan kerugian keuangan negara dimaksud.
Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 39 dan 46 KUHAP, seharusnya emas sebanyak 3,5 ton disita dan dijadikan barang bukti, untuk selanjutnya diajukan dalam tuntutan pidana guna dirampas untuk negara.
Penanganan perkara tindak pidana korupsi selama ini lebih banyak terfokus pada upaya pengembalian/penyelamatan keuangan negara. Upaya pengembalian kerugian keuangan negara tersebut sampai sekarang belum ada yang dapat dikembalikan penuh 100 persen.
Langkah Alternatif
Sebagai alternatif, jadikan nilai kerugian negara itu sebagai tuntutan uang pengganti, sebagai instrumen untuk mengembalikan kerugian keuangan negara yang telah dikorupsi, walau langkah ini pun hampir dapat dipastikan tak akan dipenuhi oleh terpidana korupsi. Mereka akan lebih memilih menjalani hukuman pidana badan berupa penjara daripada mengganti atau mengembalikan kerugian keuangan negara dimaksud.
Akibatnya, negara menanggung kerugian ganda, yaitu kehilangan uang negara dan menanggung biaya hidup (tempat tinggal, biaya makan, listrik, air, kesehatan) para terpidana itu di lembaga pemasyarakatan.
Dalam penanganan transaksi emas Rp 189 triliun, sebagai bagian dari transaksi mencurigakan Rp 349 triliun, untuk sementara ini telah ditemukan selisih emas yang tidak dilaporkan sebanyak 3,5 ton yang setara dengan Rp 3.850 triliun.
Artinya, dari penanganan tindak pidana korupsi atau kepabeanan, dari sektor pemasukan bagi kas negara (state income), hampir dapat dipastikan akan selalu menguntungkan dan menambah pendapatan negara. Penulis meyakini bahwa jika penyidik sungguh-sungguh dan teliti menggali seluruh potensi dan alat bukti yang ada, nilai uang yang dapat dikembalikan ke kas negara dari pengusutan transaksi emas sebesar Rp 189 triliun tersebut akan lebih besar lagi.
Satuan Tugas Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) menggelar jumpa pers untuk mengumumkan temuan terbaru dalam pengusutan transaksi mencurigakan senilai Rp 349 triliun yang melibatkan tugas pokok dan fungsi Kementerian Keuangan, Rabu (1/11/2023).
Hal ini mengingat penyidik yang menangani kasus tersebut selama ini belum melakukan pemeriksaan berdasarkan scientific crime investigation, seperti memanfaatkan laboratorium kriminal untuk memastikan keaslian dokumen yang diserahkan oleh tersangka.
Termasuk memastikan apakah benar tersangka memiliki usaha/perusahaan untuk mengolah emas yang terdaftar dengan tenaga kerja, sarana, lokasi, dan kapasitas yang sebanding dengan jumlah emas yang akan dikelola. Demikian pula pihak-pihak lainnya yang melakukan transaksi dengan tersangka, berikut pola-pola transaksi yang digunakan.
Pengusutan Pajak
Selain alternatif di atas, pintu lain yang dapat dijadikan instrumen oleh penyidik dalam rangka memastikan tambahan pendapatan bagi negara dari pengusutan transaksi emas sebesar Rp 189 triliun tersebut adalah melalui pengusutan dari sektor pajak.
Hal ini penting dan dapat dipastikan akan berhasil mengingat sudah menjadi karakteristik dari suatu transaksi yang janggal/mencurigakan, apalagi jika sudah tersangkut dengan tindak pidana, sang pelaku pasti tak mungkin mengisi surat pemberitahuan tahunan pajak yang harus dibayarnya dengan benar. Kewajiban pajak yang harus dibayar itu tak hanya utang pokok pajaknya, tetapi termasuk juga denda di dalamnya.
Penjabaran dan ilustrasi di atas baru dari aspek transaksi emas sebesar Rp 189 triliun, belum termasuk transaksi besar lain yang belum disentuh, apalagi disidik.
Untuk itu, perlu dibangun komitmen bersama dari semua pemangku kepentingan terkait untuk tidak pandang bulu menindaklanjuti semua transaksi mencurigakan yang telah dikirimkan oleh PPATK kepada para penegak hukum, termasuk Inspektorat Jenderal Kemenkeu, dalam rangka mengembalikan hak negara yang telah diambil dan dinikmati secara tidak sah oleh para pelaku.
Penanganan perkara tindak pidana korupsi selama ini lebih banyak terfokus pada upaya pengembalian/penyelamatan keuangan negara.
Peran Komite Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang saat ini diketuai Menko Polhukam menjadi sangat penting mengingat transaksi keuangan mencurigakan sebesar Rp 349 triliun baru terbongkar setelah Menko Polhukam mengungkapkannya ke publik. Hal ini bahkan menjadi perdebatan dalam rapat kerja antara Menko Polhukam dan Komisi III DPR.
Komite Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU harus dapat memanfaatkan sisa waktu yang tersedia dengan mengagendakan rapat rutin yang terjadwal dengan semua anggota, tenaga ahli satgas, penyidik, dan penuntut umum, dalam rangka menindaklanjuti transaksi-transaksi lainnya.
Fokusnya adalah untuk mengembalikan hak-hak negara (bea masuk dan pajak) yang telah dinikmati para pelaku dan juga mengembalikan keuangan negara yang telah dinikmati secara tidak sah oleh pelaku.
Manakala langkah satgas dengan arahan Menko Polhukam selaku Ketua Komite Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU ini berhasil, pola ini harus dijadikan model dalam menindaklanjuti laporan hasil analisis, laporan hasil pemeriksaan, dan informasi transaksi yang mencurigakan yang diproduksi PPATK dan dikirimkan kepada penegak hukum dan instansi penerima lainnya.
Model seperti inilah hakikat dari tujuan penegakan hukum, yaitu mewujudkan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan sebagaimana diutarakan Gustav Radbruch. (*)
0 komentar:
Posting Komentar